Minggu, 17 Juli 2016

Masjid Agung Jawa Tengah Rasa Madinah



              Melihat menaranya dari kejauhan sudah bergelantungan imajinasi senadainya payung raksasa tersebut dibuka. Satu dari seian masjid yang bagi saya cukup unik yapp masjid agung jawa tengah. Masji ini menjadi ciri khas tersendir dari masjid agung pada umumnya, dikarenakan memiliki payung besar layaknya masjid nabawidi madinah. Bagian depan masjid terbentang luas menghadap langsung ke langit yang penuh dengan gugusan bintang. Betapa indahnya. Kebanyakan pengunjung meramaikan suasana luar masjid ketimbang dalamnya. Ohh mungkin tidak sedang dalam waktu sholat. Luas bagian dalam masjid sangat besar, dan terasa sangat bersih rumah Allah ini.


                Selepas sholat magrib dan isya, kami menuju menara dari masjid ini. Salah satu tempat andalan untuk melihat keeksotisan kota semarang. Gemilang lampu menghiasi kota. Hembusan angin terasa begitu renyah dirasakan. Kami berfoto sesuka hati dengan latar belakang lampu kota dari ketinggian menara. Ahh indah sekali masjid ini, seandainya saja. Nggak perlu ditrusin andai-andai yang terlau mengandai-andai hahaa. Oiya harga tiket menara Rp.7000.  Mengunjungi masjid untuk memenuhi psnggilanNya loh yaa, bukan memenuhi koleksi foto di instagram wkwkwk. Eid holiday!




Tak Seseram Yang Dibayangkan, Lawang Sewu.



                Semua kendali perjalanan balik ke jombang sudah dipegangoleh empat anak, tapi tetap satu ketua yaitu aa. Sekitar jam setengah empat pagi kami meluncur keluar dari desa bangko. Memang niatnya ingin berjalan-jalan selama perjalanan kali ini.  Singkat perdebatan selama perjalanan, akhirnya di jawa tengah kami singgah di tempat yang ramai (dulu) sebagi tempat mistis dan angker. Lawang sewu, dari namanya sudah ketebak kalau bangunan ini katanya punya 1000 pintu. Belum tau juga sih benar enggaknya, tapi memang benar pintunya ga kira-kira. Buanyaak!. 



                Sore menjelang magrib, suasana khas jawa tengah terasa betul ketika kami berjalan di sisi jalan menuju pintu masuk lawang sewu. Harga tiket masuk untuk para mahasiswa 10.000 sedangkan anak-anak sekolahan separohnya yaitu 5000 rupiah saja. Dari awal saya sudah bertanya-tanya sebenarnya ini gedung apasih dulunya? Ohh setelah membaca tiket masuk, ehh ternyata gedung ini dulunya digunakan oleh PT KAI. Suasananya tidak begitu menyeramkan, mungkin karena banyak manusia dan ornamen gedungnya sudah direnovasi lebih baik lagi. Pas bangetlah buat to potoo, ngoleksi buat ig (bagi anak-anak hits). Karena waktu yang disisakan untuk melimpir sejenak ke tempat ini hanya sebentar, walhasil saya belum memahami betul sejarah dari lawang sewu ini dan segala tetek bengeknya. 

               
 “Aa. Foto.. Aa foto”,  welahdalah ini adek-adekmu kok narsis juga ya a. Semoga disetiapfoto tak muncul sesuatu. Sesuatu yang memang benar-benar sesuatu. Lawangsewu lebih keren suasananya kalau dikunjungi malam hari, pijaran lampu kuningnya siap menghiasi jepretan foto bergaya ala-ala di rumah tua. Sekian.

Mencari Pantai Sawarna dan Tanjung Layar



                Kembali ku duduk untuk menikamati secangkir teh hangat dan mendengarkan obrolan kedua orang tuaku dengan seseorang dihadapannya. Suasana hening terasa menghiasi seisi rumah, dia adalah pemilik pondok pesantren yangsedang ku kunjungi kali ini. Tanpa basa basi ia menylakan batang korek api, menghisapnya dengan nikmat, merasakan kekhusyuan setiap hembusan asa rokok yang keluar dan masuk saluran pernapasannya. Tubuhnya terlihat sangat sehat, tak seperti perokok pada umumnya. Dia adalah santri bapak dulunya.
                Selesai berbincang dengan ditemani lemang atau bisa diistilahkan nasi ketan santan yang dibakar dalam bambu. Aku beserta keluarga dan dia beserta keluarganya pergi menuju pantai sawarna. Salah satu pantai yang dinobatkan sebagai salah satu pantai yang favorit bagi para penduduk banten dan sekitar. Berdasarkan hasil survei via google.com, aku dan ketiga saudara menyepakati untuk memilih pantai sawarna sebagai tempat refreshing kali ini.
                Perjalanan yang ditempuh lumayan jauh, terbukti dari tidur saya yang berulang kali. Sebelum sampai di pantai sawarna, kami mampir sejenak untuk memenuhi panggilan perut di pantai pasir putih (pas.put). Sepertinya nama pantai ini sudah terlalu umum, saya kira seluruh pantai pasirnya berwarna kekuningan tidak putih banget. Gazebo kecil menghadap kedepan bentangan laut biru yang luas berjejer rapi mengelilingi sisi pantai. Ibu duduk paling pertama diantara yang lainnya, meneropong jauh kedepan, tersenyum lebar atas keindihan yang diberi Allah secara cuma-cuma ini. 

                Setengah jam menunggu, tiga ikan laut super besar terhidang sudah. Ditambah pelengkap sambel tomt dan sambel kecap serta karedok yang aduhai pedaasnya. Ikan yang dibakar adalah jenis ikan kerapu dan kakap merah, bapaklah yang hafal betul macam-macam ikan. Seluruh ikan terbakar sempurna seluruh sisi, sesekali aku mencicipi dari satu ikan ke ikan yang lain. Memang terasa sedikit berbeda, suatu kuasaNya menciptakan sebuah makhluk dalam satu tempat (laut asin) namun memiliki berbagai rasa yang khas. 

                Perjalananpun dilanjutkan, ternyata efek samping setelah memakan ikan laut ditambah mungkin terlalu berlebih berlabuh di kedua mata saya. Rasa kantuk segera menyergap, aku terlelap sangat dalam walau guncangan mobil cukup terasa betul. Setelahnya aku terbangun, tak terasa langkah kaki akan segera menapak pantai sawarna. Di ebelah kanan terlihat suatu kawasan industri semen yang cukup terkenal. Berbagai alat berat menghiasi bukit dan pegunungan, warna putih kekuningan dan debu yang menyelimuti kawasan tersbut.
                Memasuki daerah pantai sawarna, mata akan dihibur dengan hijaunya alam. Mobil melaju cepat, tak sabar melihat keindahan pantai yang katanya memiliki berbagai macam warna. Hari itu tepat hari minggu dan musim libur lebaran, lengkap sudah kepadatan kerumunan orang-orang yang sama-sama ingin menjajal pantai sawarna. Mobilpun sampai di lapangan parkir yang hampir berubah seperti tempat bazar mobil. Sungguh penuh dengan anak-anak adam.
                Menariknya, sebelum mencapai pantai, para pengunjung harus menyebrangi sungai dengan menggunakan.... (saya lupa namanya) pokoknya yang terlihat seperti di gambar.Woww ini sesuatu sekali, rasanya deg.. deg.. deg..takut tenggelem. Sampai- sampai ibu lebih memilih untuk duduk saja, takut jatuh sepertinya hahaa. Sebenarnya ada jembatan penyebrangan, tapi terlalu ramai oleh para pengendara motor. Sayang, tempat wisata seramai ini tak seindah fasilitas yang dimilikinya. 



                Kami berjalan langkah demi langkah untuk mencapai villa yang sudah dipesan oleh santrinya bapak. Walau kaki terasa begitu lelah, namun jiwa terus terpicu untuk terus melangkah demi menyaksikan keindahan pantai sawarna. Sesampainya di villa, perjuangan belum berakhir. Bila ingin melihat pantai sawarna cukuplah melangkah kedepan villa. Namun bila kau penasaran dengan tanjung lyar, siap-siap saja merasakan lelahnya berjalan, tapi tenang banyak tukang ojek yang siap untuk mengantarkan adek pulang pergi ke tanjung layar. 

                Dua batu besar menjulang berdiri gagah dihadapanku, pantai penuh dengan manusia dan sampah. Sambil mencicipi bakso ikan dan rujak bebek yang parkir didepan pantai bersama dede, aku tertawa mengasihani adik paling kecil “muna”, dia terlalu lelah berjalan menuju tempat ini. Namun keindahannya tak terbayarkan dengan rasa lelah yang dia rasakan. Memang perjalanan yang harus ditempuh lumayan menguras energi, belum lagi dihadapkan dengan geng-geng ojek dan para pengendara motor lainnya yng berjalan berbarengan dengan pejalan kaki. Kamipun menjempret momen kebahagian lengkap dengan kesedihan raut wajah mona. 




                Mona sudah tidak tahan untuk pergi dari tanjung layar, ia ingin pantai sawarnanya. Oke, kamipun sebagai kakak terbaiknya menuruti apa maunya. Kembali balik arah ke pantai yang banyak orang dan bisa direnangi itu. Entah apa sebutannya, pokoknya sederetan pantai tersebut disebut pantai sawarna berdasarkan penuturan warga asli disana. Berdasarkan penilaian saya, sebagi serang traveliing belum sejati pantainya kotor, banyak sampah dan lebih bisa dinikmati bila tidak saat musim liburan. Jalan menuju sananya juga jauh sekali. Masih banyak pantai asri yang lebih aduhai. Percaya. Tapi saya gatau lagi kalau pantai sawarna yang tersajidi mbah google itu berbeda dengan yang saya kunjungi. Cukup sekian liburan kali ini. Jangan terlena dengan gambargambar yang terpampang di google. Itu hanya fotografer semata, terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Seperti yang saya rasakan. Oh sawarna, aku mengunjungimu tidak pada saat yang tepat. 


Kaluargaku dan Serba Serbi Babacakannya



Punya banyak anak bukan hal yang aneh atau dianggap susah bagi orang tua tempo dulu. Seperti nenek dan kakek saya yang merupakan orang tua generasi pemilik banyak anak. Jumlahnya kalau dari orang tua bapak itu ada 9, sedangkan dari ibu ada 7. Berbeda dengan saat ini, mayoritas setiap orang tua cukup hanya memiliki 1-4 anak. Walaupun masih ada beberapa orang tua yang masih memegang teguh warisan untuk terus menambah jumlah anak yang dimiliki. Sesungguhnya saya nggak akan melanjutkan pembahasan ini, masih kecil. 


                Lebaran datang, mudikpun menghadang, uang harus siap segudang. Hari itu masih terlihat gelap, tak biasanya saya mandi sepagi ini bila tak karena hari raya idul fitri. Tak ada baju lebaran yang seprti dulu ketika kecil wajib saya gunakan, hanya rok dan kaos santai. Seisi rumah juga bersiap-siap, pemandangan yang suci. Wajah-wajah terlihat cerah, gema takbir terus terdengar beriiringan dengan seluruh masjid yang berada di seluruh kawasan Tebuireng. Saya, mona dan ibu sudah siap untuk pergi ke masjid di pondok pesantren tebuireng. Ketiga wanita ini dengan mukenah putihnyapun segera berangkat. Lokasinya tak jauh dari rumah yang sekarang. Kamipun berjalan beriiringan, ditengah jalan saya memeluk ibu seraya mengucapkan kata maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat oleh anakmu ini.
                Selepas sholat ied, kami geng perantau dari banten segera bergegas menuju tempat asal. Kedua orang tua naik pesawat, takut kecapean. Sedangkan saya dan para saudara yang muda-muda naik mobil dan kereta. Alhamdulillah perjalan lancar, untuk para pemudik, mudiklah dijalan yang benar. Ketika orang-orang mudik ke arah utara atau selatan, sebaiknya Anda mudik ke arah barat demi menghindari kemacetan hahahaa. Cukup dengan waktu 19 jam kami geng muda sampai di kampung bangko cikeudal pandeglang banten.
                Aktivitas keluarga saya kalau lagi dibanten, pertama silaturahim, kedua ziarah kubur ke makam keluarga, dan bonusnya adalah liburan + babacakan. Bab liburan ada sendiri, sekarang nguliktentang babacakannya dulu. Babacakan (sunda), Bancaan ( jowo ) salah satu cara paling jitu untuk menyatukan segala macam golongan, ras dan spesies. Eh spesiesnya harus sama sama manusia. Teringat setelah saya mendarat di juanda, sontak dede bilang kalau saya kurusan. Hal itu sudah tidak berlaku ketika saya sudah lulus dari babacakan yang diadakan hampir setiap hari selama di banten. 


     Khasnya dari menu yang dihidangkan bagi saya adalah sambal honjenya, aduuhayy wanginya ituloh. Ditambah dengan ikan mas sawah sebutannya, dagingnya jauh lebih gurih daripada ikan-ikan yang dibudidaya dengan cara lain. Sambal honjenya masih terasa tekstur serabutnya, tapi lembut. Belum afdhol kalau makannya ga di daun pisang, alamak ngenah pisan euyy!!! Kebetulan yang disengaja, jumlah orang-orang dalam keluarga saya cukup besar. Dari keluarga bapak, jumlah anaknya nenek ada 8 x cucunya = kurang lebih 50. Belum lagi keluarga ibu dan keluarga dari keluarga lainnya. Belum lagi bakal keluarga kamu (eaakk!).

                Jadi, keluarga dan babacakan sungguh sebuah hubungan yang terikat satu sama lain. Bila semakin banyak jumlah orang dalam keluarga maka pelafalan kata babacakanpun akan terasa semakin nikmat. Namun bila jumlah orang dalam keluarga sedikit, tak apa itu tetap namanya babacakan walaupun tak sekhusyuk babacakan keluarga dengan jumlah orang yang banyak. Ingin memiliki banyak anak atau tidak sakarep sampean, toh honje dan ikan mas pun masih terus berkembang biak sebagaimana mestinya. Terpenting sedikit atau banyaknya jumlah anak, nomor satu keluarga harus bahagia, tidak kekurangan nutrisi agama, pendidikan dan perhatian. 


Copyright © 2014 Bingikisan Pengalaman